Rabu, 15 Oktober 2014

Kelompok VIII


Tugas Kelompok:                                                                              Dosen Pengampu:
Bimbingan Konseling Keluarga                                                        Muhammad Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I



PENDIDIKAN DAN PERMASALAHAN KELUARGA


(Masalah dalam Keluarga, Perasaan Tertekan pada Kaum Ibu, dan Frustasi dalam Kehidupan Sehari-hari)



Oleh: Kelompok VIII
Dewi Safrida
Pusrawati
Selly Sisca Mei Chella

BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Keluarga merupakan satuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada tiga bentuk keluarga yaitu Nuclear Family (terdiri dari ayah, ibu, dan anak), Extended Family (terdiri dari ayah, ibu, anak, nenek, kakek, paman, atau bibi), dan Blended Family (keluarga inti ditambah dengan anak dari pernikahan suami/ istri sebelumnya). Klien adalah bagian dari salah satu bentuk keluarga tersebut. Oleh karena itulah, konseling keluarga memandang perlu memahami permasalahan klien secara keseluruhan dengan melibatkan anggota keluarganya.
Kehidupan keluarga di zaman kemajuan industri dan teknologi mengalami berbagai cobaan. Cobaan dimaksud bukan hanya karena faktor ekonomi, akan tetapi lebih banyak pada faktor sosial-psikologis. Berbagai indikator mudah dilihat, seperti perceraian, pertengkaran suami-istri, kenakalan anak. Keluarga kaya, belum tentu luput dari masalah sosial-psikologis kemungkinan lebih banyak. Banyak sekali kesibukan keluarga yang berorientasi ekonomi. Ibu-ibu bekerja untuk menambah biaya keluarga yang makin membengkak. Sering urusan anak-anak diserahkan pada pembantu. Kehidupan keluarga dengan beberapa anak remaja, sering menghadapi masalah. Hal ini berawal dari ketidakpahaman orangtua tentang perilaku para remaja. Kebiasaan orangtua ‘memaksakan’ prinsipnya terhadap anak, kemungkinan akan mengalami kekecewaan. Karena konsep orang tua tentang sesuatu yang diduganya benar, belum tentu dipahami anak. Bahkan beraksi melawan arus. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan sang anak akan menambah penderitaan orangtua. Ibu akan stress, demikian pula ayah. Kehidupan keluarga makin tidak bahagia. Upaya mengatasi tidak mungkin dengan cara otoriter, akan tetapi dengan toleransi, menghargai, dan kasih sayang.

B.       Tujuan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah adalah diharapkan mahasiswa, terutama kepada calon konselor mampu memahami permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam keluarga hingga anggota keluarga mengalami frustasi dan sebagainya, agar dapat diatasi demi menciptakan keluarga yang harmonis dan akrab.

C.      Rumusan Masalah

-          Bagaimana permasalahan yang sering terjadi dalam keluarga?
-          Bagaimana perasaan terhentikan pada kaum ibu?
-          Bentuk frustasi dalam kehidupan sehari-hari?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Masalah-Masalah dalam Keluarga

Permasalahan dalam keluarga sangatlah beragam. Setiap keluarga pasti pernah mengalami saat-saat krisis yang menyebabkan munculnya permasalahan dalam keluarga. Ketidakmampuan orang tua menyikapi permasalahan ini berperan besar dalam menyebabkan munculnya masalah dalam diri anak (klien). Weakland telah membuat hipotesis bahwa anak yang mengalami gangguan perilaku berat adalah hasil dari ketidakrukunan satu pihak dengan pihak lain dalam keluarga. Ketidakrukunan ini dapat berupa bentuk pertentangan, permusuhan, dan ketidakharmonisan orang tua dalam keluarga. Anak akan mempelajari dinamika keluarganya secara terus menerus sehingga menimbulkan perilaku negatif pada dirinya sendiri.
Beberapa orangtua mengalami kesulitan dalam menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Hal ini dapat saja dikarenakan ketidaksiapan membina rumah tangga diawal pernikahan, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ekonomi, kesalahan dalam mendidik anak, dan lain sebagainya. Kesulitan inilah yang mendorong terjadinya ketidakseimbangan dalam keluarga yang akhirnya menimbulkan masalah. Dalam hal ini Munchin menjelaskan penyebab masalah keluarga dalam “Triad yang kaku”, antara lain:
1.         Detouring atau saling melimpahkan kesalahan;
2.         Anak dan orangtua berkoalisi untuk melawan orangtua yang lain;
3.         Anak berkoalisi dengan anggota keluarga yang mengalami konflik secara tertutup terhadap anggota keluarga yang lain.
Selain hal tersebut, penyebab munculnya perilaku bermasalah pada anak menurut Jackson dapat disebabkan oleh konflik yang tidak terselesaikan dalam keluarga dimasa lalu. Misalnya, seorang anak (klien) yang memiliki kecenderungan berperilaku kasar di sekolah seperti memaki, berkelahi dan melanggar peraturan sekolah, dikarenakan sikap kedua orangtuanya yang sering bertengkar dan beradu fisik dihadapan anak sewaktu ia masih kecil.
Adapun masalah yang sering kali terjadi dalam keluarga, antara lain:[1]
a.         Ketidakmampuan berinteraksi antar-anggota keluarga dalam menangani masalah
Ketidakmampuan berinteraksi secara utuh dalam keluarga dapat disebabkan karena:
1.    Ketidakmampuan mengomunikasikan perasaan kepada anggota keluarga secara efektif. Beberapa sistem yang diterapkan dalam keluarga adalah terlalu fanatik terhadap paham keagamaannya sehingga menganggap tabu untuk membicarakan tentang seks, uang, perasaan negatif. Ada pula sistem menyampaikan pesan ganda, artinya ketidakselarasan antara perkataan dan perbuatan.
2.  Hubungan antar-anggota keluarga yang tidak akrab satu sama lain. Masing-masing anggota keluarga memiliki kesibukan diluar rumah sehingga jarang meluangkan waktu bersama. Mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama, shalat berjamaah di rumah dimana ayah menjadi imam dan anggota keluarga menjadi jamaah. Ini merupakan moment yang tepat, banyak hal yang bisa ditanyakan ayah atau ibu kepada anak-anak. Seperti pelajaran sekolah, teman, kesedihan, kesenangan yang dialami anak.[2] Jadi disini antar-anggota keluarga bisa saling berbagi, ada kehangatan dan hubungan yang akrab dalam keluarga.
3.      Adanya aturan dalam keluarga yang terlalu kaku atau sama sekali tidak memiliki aturan. Pada keluarga yang telau kaku, anggota keluarga sulit bertindak fleksibel dan cenderung mengabaikan sumber pertolongan diluar keluarga. Anak akan mengalami kesulitan mengikuti aturan apabila bertentangan dengan sikap dan nilai pribadinya. Sementara pada keluarga yang tidak memiliki aturan, anggota keluarga dibebaskan untuk melakukan apapun yang mereka inginkan sehingga membingungkan anak untuk memilih tingkah laku yang layak untuk dilakukan.
4.  Keengganan mengungkapkan rahasia pribadi dengan anggota keluarga. Rahasia ini biasanya bersifat menyakitkan dan memalukan. Sikap enggan mengungkapkan rahasia ini akan menimbulkan sikap berjaga-jaga pada anggota keluarga yang menyimpan rahasia, dan kecurigaan pada anggota keluarga.
5.    Ketidakmampuan menyesuaikan tujuan antara  anak dan orangtua. Anak akan mengalami pertentangan antara harap dan kenyataan yang akhirnya menimbulkan konflik pada dirinya.
6.  Terjadinya pertentangan nilai/ cara berpikir antara anak dan orangtua. Adakalanya orangtua menolak tejadinya perubahan dalam sistem keluarga yang sifatnya turun temurun.

b.         Kurangnya komitmen dalam keluarga
Keluarga yang tidak memiliki komitmen akan mengalami kesulitan untuk membangun kebersamaan dan menangani masalah yang muncul. Orangtua hanya memikirkan urusannya sendiri tanpa memperdulikan maslaah anak, begitupun sebaliknya. Bahkan pada saat menjalani proses konseling, ketidaksediaan untuk meluangkan waktu sehinga menyulitkan konselor untuk menangani permasalahan klien.

c.         Ketidakmampuan menjalankan peran dalam keluarga
Baik orangtua maupun anak sebenarnya telah menetapkan perannya masimg-masing dalam keluarga. Dalam peran aktivitas misalnya, kakak membersihkan rumah, ayah membuka pintu garasi mobil. Berdasarkan gender, mengharuskan ibu merawat anak dan suami. Namun, terkadang anggota keluarga mengabaikan peran tersebut.

d.         Kurangnya kestabilan lingkungan
Seperti, karena desakan ekonomi, pasangan suami istri harus hidup bersama mertua dalam jangka waktu yang lama. Sikap mertua yang selalu mencampuri urusan pasangan suami istri tersebut akhirnya menimbulkan konflik dalam keluarga.

e.         Masalah pendidikan
Jika pendidikan agak lumayan pada suami-istri, maka wawasan tenatang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya, pada suami-istri yang yang pendidikannya rendah seering tidak dapat memahami liku-liku keluarga. Jika pendidikan agama ada atau lumayan, mungkin kelemahan dibidang pendidikan bisa diatasi. Suami-istri akan dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari. Islam, mengajarkan agar orang bersabar dan shalat didalam menghadapi gejolak hidup rumah tangga.[3]

f.     Masalah perselingkuhan
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perselingkuhan. Pertama, hubungan suami-istri yang sudah hilang kemesraan dan cinta kasih. Seperti istri kurang berdandan di rumah kecuali jika pergi ke undangan atau pesta, cemburu baik secara pribadi maupun atas hasutan pihak ketiga; kedua, tekanan pihak ketiga seperti mertua dan anggota keluarga lain dalam hal ekonomi; ketiga, adanya kesibukan masing-masing sehingga kehidupan kantor lebih nyaman daripada kehidupa keluarga.[4]

g.    Jauh dari Agama
Segala keburukan perilaku keburukan manusia disebabkan karena jauh dari agama yaitu dienul Islam. Sebab Islam mengajarkan agar manusia berbuat baik dan mencegah orang berbuat mungkar dan keji.jika keluarga jauh dari agama dan mengutamakan materi. Tunggulah kehancuran keluarga tersebut. Karena dari keluarga tersebut akan lahir anak yang tidak taat pada Allah dan kedua orangtuanya.[5]

B.       Perasaan Tertekan pada Kaum Ibu

Dengan dimulainya berumah tangga, biasanya macam-macam persoalan mulai timbul. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah bebas dari persoalan. Mengatasi dan menyelesaikan masalah justru merupakan tantangan bagi manusia. Cara-cara mengatasi persoalan itulah yang menentukan keberhasilannya. Cara seseorang mengatasi kesulitan menentukan corak hidupnya. Berhasil dan gagalnya seseorang selalu menentukan arah jalan hidup selanjutnya. Demikian juga perasaan-perasaan kesal yang dialami kaum perempuan dan kaum ibu pada umumnya dalam rumah tangga pun dapat mengarahkan hidupnya. Apakah cara dan isi hidupnya membahagiakan atau merisaukan, banyak dipengaruhi oleh cara-cara mengatasi kekesalan didalam rumah tangga.

a.         Perasaan kesal
Perasaan kesal merupakan suatu perasaan yang menekan dirinya dan mengakibatkan penderitaan jiwa. Perasaan kesal yang menumpuk akhirnya begitu meluas pada segi emosionalitas dan disebut tekanan jiwa – tekanan batin. Tidak tercapainya sesuatu  menimbulkan rasa kesal.
Bentuk penyaluran rasa kesal/tekanan batin yang sering terlihat pada kaum ibu dan perempuan addalah depresi. Depresi merupakan gangguan emosionalitas yang ditandai oleh adanya perasaan sedih, putus asa, dan putus harapan yang tidak sesuai dengan lingkungan serta kehilangan minat terhadap lingkungan. Depersi meliputi beberapa tahapan, yaitu suasana hati tertekan, deperesi ringan, depresi berat, dan depresi yang disertai kecenderungan bunuh diri.

b.         Penyebab perasaan sedih/perasaan tertekan
1.      Sebab-sebab depresi yang terletak pada segi kebutuhan/fisiologis perempuan
-          Sejak umur belasan tahun sampai suatu umur tertentu, perempuan mengalami siklus haid setiap bulan. Siklus haid diatur oleh hormon-hormon yang penyalurannya diatur oleh pusat-pusat tertentu didalam otak. Dalam masa ini, perempuan akan merasa perasaan-perasaan yang tidak menentu dikarenakan adanya kesia-siaan persiapan tubuh. Keadaan “kecewanya tubuh” terlihat dari mudahnya perempuan merasa tersinggung, marah, dan kurang sabar dalam menghadapi masalah sehari-hari. Kekesalan ini yang sering tidak diketahui pangkal sebabnya, mengakibatkan timbul rasa putus asa dan sulit menahan air mata. Namun, walau setiap perempuan mengalami siklus haid, tidak setiap perempuan mengalam depresi ini dalam derajat yang sama.
-          Seorang yang ibu yang baru hamil akan mengalami gangguan keseimbangan tubuh, karena tubuhnya harus memelihara dan mengembangkan janin yang baru. Biasanya, jelas terlihat dari tuntutan “calon ibu” yang luar biasa, dikenal sebagai “ngidam”.
-          Menjelang mendekati akhir “masa subur”, tubuh perempuan mengalami perubahan total yang menyebabkan keguncangan emosionalitas. Pengetahuan akan penurunan “kualitas” tubuh sebagai penerus keturunan seolah-olah mempengaruhi “harga dirinya” secara keseluruhan disertai dengan perasaan tidak berguna lagi. Begitu juga dengan perempuan yang tidak menikah.
-          Kelelahan juga dapat mempengaruhi ketahanan psikis, sehingga mudah terkena penyakit. Kemudian timbul perasaan putus asa dalam meghadapi dan mengatasi persoalan sehari-hari yang akhirnya menumpuk dan menjadi tekanan batin.

2.      Rumah tangga dan masalahnya
-          Setiap hari kaum perempuan, khususnya kaum ibu, seolah-olah harus menghadapi dan menjalani suatu rangkaian tugas yang harus diselesaikan demi terjaminnya kelangsungan hidup. Penyelesaian tugas yang tidak memberikan hasil yang nyata, sering memberikan perasaan diri tidak berguna dan tekanan batin bagi kaum perempuan.
-          Perasaan putus asa dapat timbul dalam menghadapi suatu rangkaian masalah yang tidak terpecahkan sehingga menghilangkan semangat juang hidup. Sebaliknya, rumah tangga yang teratur, bebas dari permasalahan berat pun mengalami titik kejenuhan yang juga mungkin timbul depresi pada kaum perempuan.

3.      Hubungan suami istri
-          Antara laki-laki dan perempuan memiliki sifat-sifat dasar yang berbeda. Tanpa pengetahuan, depresi mungkin akan timbul pada setiap titik pertemuan. Setiap titik pertemuan akan jadi persimpangan dimana cara berpikir, titik tolak pemikiran, maupun tindakan tidak akan mencapai kesesuaian. Ketidaksesuaian ini dengan status perempuan sebagai “pengabdi” akan menimbulkan berbagai derajat kekesalan.
-          Perbedaan pertentangan dan kekecewaan, baik dari segi materi, mental, maupun seksual, telah membentuk dinding pemisah antara suami istri. Penderitaan batin akan lebih dirasakan oleh kaum istri karena mereka merupakan penampung emosi dari suami. Perasaan putus asa karena harus menyelesaikan semua permasalahan tanpa penyaluran dan penampunagn afeksi, dapat mencapai titik gelap. Keadaan ini sering mendorongnya untuk menghabiskan penderitaanya dengan nekad.

c.         Mencegah dan mengatasi depresi
1.      Menghindari rangsangan-rangsangan dapat menimbulkan kemarahan maupun luapan emosi lainnya;
2.      Depresi semasa hamil, dicegah dengan membaca cerita yang bagus, berjalan-jalan menghirup hawa segar;
3.      Mencegah kelelahan tubuh supaya tidak melampaui batas daya tubuh;
4.      Pertemuan antar kaum perempuan, kaum ibumaupun pertemuan informal akan bermanfaat;
5.      Pekerjaan selingan atau tambahan;
6.      Penciptaan hubungan suami istri yang serasi.[6]

C.      Frustasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Frustrasi, dari bahasa Latin “frustratio”, adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus kepada stress. Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain. Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau tidak kunjung mendapatkan jodoh.
Frustasi adalah suatu keadaan dalam diri Individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya kepuasan atau suatu tujuan akibat adanya halangan/rintangan dalam usaha mencapai kepuasan atau tujuan tersebut. Frustasi adalah sebagai keadaan dimana seseorang sedang kalut, terlalu banyaknya masalah, tekanan ataupun lainnya, sehingga tidak dapat menyelesaikannya. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan yang dialami seseorang, ketika keinginannya tidak dapat tercapai atau terganjal untuk dapat terealisasikan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali hal yang menyebabkan terhalangnya orang dalam mencapai yang diinginkannya itu. Orang yang sehat mentalnya akan dapat menunda buat sementara kebutuhannya itu atau ia dapat menerima frustasi itu sambil menunggu adanya kesempatan yang memungkinkan adanya.[7]
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dapati keadaan frustasi tersebut. Mengeluhkan keadaan ekonomi, seperti usaha macet, pasaran sepi, sulit mendapatkan pekerjaan, kecelakaan, divonis penyakit, bencana alam, kematian orang disayangi, persaingan yang berlebihan, dan lain-lain. Pada mulanya, kita menganggap itu perasaan yang sepintas saja, namun perlu diketahui frustasi dapat mengakibatkan hal yang fatal. Berikut cara yang dapat dilakukan agar kita tidak melihat sesuatu pada satu sisi saja:
1.    Sikap optimis. Katakan pada diri sendiri bahwa kita mempunyai kebebasan untuk memandang setiap situasi negatif . bila kita katakan pada diri sendiri “Jangan cemas!” Maka hati kita akan lebih tenang.
2.   Manusia adalah makhluk yang mempunyai akal budi. Artinya kita bisa belajar, dapat menyusun rencana dan menentukan tujuan.
3.         Bersikap tenang dan rileks, sambil menyusun strategi.
4.        Belajar bereaksi secara positif, karena pemikiran positif memnghasilkan sesuatu yang positif pula. Ibrahim Elfiky mengatakan “Berpikir positif adalah sumber kekuatan dan sumber kebebasan. Disebut sumber kekuatan karena ia membantu Anda memikirkan solusi sampai mendapatkannnya. Dengan begitu Anda bertambah mahir, percaya dan kuat. Disebut sumber kebebasan karena dengannya Anda akan terbebas dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik.”[8]
5.        Kita tidak dapat mencegah tarjadinya perubahan, bila suatu saat kita kehilangan sesuatu, kita harus tetap bersyukur dan optimis.
6.     Mulai dengan tindakan kecil tetapi pemikiran besar. Ambil langkah-langkah kecil dan maju sambil terus memperhatikan tujuan akhir yang ingin dicapai.
7.  Percaya bahwa hidup ini penuh kemungkinan. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya dan bekerjalah lebih keras dibanding sebelumnya.

Sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak sepenuhnya bergantung pada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Tetapi lebih bergantung pada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut.[9]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ketidakmampuan orangtua menyikapi permasalahan dalam keluarga berperan besar dalam menyebabkan munculnya masalah dalam diri anak (klien). Orangtua menyadari bahwa anaknya harus mendapatkan penanganan dari konselor agar dapat mengubah perilakunya disaat anak sudah memunculkan perilaku negatifnya dihadapan orangtua dan lingkungan sekitarnya. Dengan perilaku seperti ini, orangtua mengalami stress, frustasi, merasa tambah menderita.

B.     Saran

Dari penulisan makalah ini, diharapkan kita dapat mencapai keharmonisan dalam diri sendiri dan keluarga, mampu mengelola segala maacaam keadaan frustasi. Bagi calon konselor supaya dapat memahami materi ini untuk bahan ajar dan berguna bagi masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Yusak. Kesehatan Mental. Bandung: Pustaka Setia. 1999.
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta. Gunung Agung. 1968.
Elfiky, Ibrahim. Terapi Berpikir Positif. Jakarta: Zaman. 2013.
Lubis, Namora Lumongga. Memahami Dasar-Dasar Konseling. jakarta: Kencana. 2011.
Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia. 2008.
Willis, Sofyan S. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta. 2013.


[1] Namora Lumongga Lubis. Memahami Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Kencana: 2011. Hal. 224-227.
[2] Sofyan S. Willis. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta. 2013. Hal. 14.
[3] Ibid., Hal 18.
[4]Ibid., Hal. 18 .
[5] Ibid., Hal 19.
[6] Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta: Libri. 2012. Hal. 98-106.
[7] Zakiah Daradjat. Kesehatan Mental. Jakarta. Gunung Agung. 1968.
[8] Ibrahim Elfiky. Terapi Berpikir Positif. Jakarta: Zaman. 2013. Hal. 207.
[9] Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental. Bandung: Pustaka Setia. Hal 18.