Tugas Kelompok: Dosen Pengampu:
Bimbingan Konseling Keluarga Muhammad Fahli Zatra Hadi, S.Sos.I
PENDIDIKAN DAN
PERMASALAHAN KELUARGA
(Masalah dalam
Keluarga, Perasaan Tertekan pada Kaum Ibu, dan Frustasi dalam Kehidupan
Sehari-hari)
Oleh: Kelompok VIII
Dewi Safrida
Pusrawati
Selly Sisca Mei Chella
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga merupakan satuan terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ada tiga bentuk keluarga yaitu Nuclear
Family (terdiri dari ayah, ibu, dan anak), Extended Family (terdiri
dari ayah, ibu, anak, nenek, kakek, paman, atau bibi), dan Blended Family (keluarga
inti ditambah dengan anak dari pernikahan suami/ istri sebelumnya). Klien
adalah bagian dari salah satu bentuk keluarga tersebut. Oleh karena itulah,
konseling keluarga memandang perlu memahami permasalahan klien secara
keseluruhan dengan melibatkan anggota keluarganya.
Kehidupan keluarga di zaman kemajuan industri dan teknologi
mengalami berbagai cobaan. Cobaan dimaksud bukan hanya karena faktor ekonomi,
akan tetapi lebih banyak pada faktor sosial-psikologis. Berbagai indikator
mudah dilihat, seperti perceraian, pertengkaran suami-istri, kenakalan anak.
Keluarga kaya, belum tentu luput dari masalah sosial-psikologis kemungkinan
lebih banyak. Banyak sekali kesibukan keluarga yang berorientasi ekonomi.
Ibu-ibu bekerja untuk menambah biaya keluarga yang makin membengkak. Sering
urusan anak-anak diserahkan pada pembantu. Kehidupan keluarga dengan beberapa
anak remaja, sering menghadapi masalah. Hal ini berawal dari ketidakpahaman
orangtua tentang perilaku para remaja. Kebiasaan orangtua ‘memaksakan’
prinsipnya terhadap anak, kemungkinan akan mengalami kekecewaan. Karena konsep
orang tua tentang sesuatu yang diduganya benar, belum tentu dipahami anak.
Bahkan beraksi melawan arus. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan sang anak
akan menambah penderitaan orangtua. Ibu akan stress, demikian pula ayah.
Kehidupan keluarga makin tidak bahagia. Upaya mengatasi tidak mungkin dengan
cara otoriter, akan tetapi dengan toleransi, menghargai, dan kasih sayang.
B.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah adalah diharapkan
mahasiswa, terutama kepada calon konselor mampu memahami
permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam keluarga hingga anggota
keluarga mengalami frustasi dan sebagainya, agar dapat diatasi demi menciptakan
keluarga yang harmonis dan akrab.
C.
Rumusan Masalah
-
Bagaimana permasalahan yang sering terjadi dalam keluarga?
-
Bagaimana perasaan terhentikan pada kaum ibu?
-
Bentuk frustasi dalam kehidupan sehari-hari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masalah-Masalah dalam Keluarga
Permasalahan dalam keluarga sangatlah beragam. Setiap
keluarga pasti pernah mengalami saat-saat krisis yang menyebabkan munculnya
permasalahan dalam keluarga. Ketidakmampuan orang tua menyikapi permasalahan
ini berperan besar dalam menyebabkan munculnya masalah dalam diri anak (klien).
Weakland telah membuat hipotesis bahwa anak yang mengalami gangguan perilaku
berat adalah hasil dari ketidakrukunan satu pihak dengan pihak lain dalam
keluarga. Ketidakrukunan ini dapat berupa bentuk pertentangan, permusuhan, dan
ketidakharmonisan orang tua dalam keluarga. Anak akan mempelajari dinamika
keluarganya secara terus menerus sehingga menimbulkan perilaku negatif pada
dirinya sendiri.
Beberapa orangtua mengalami kesulitan dalam menciptakan
suasana keluarga yang harmonis. Hal ini dapat saja dikarenakan ketidaksiapan
membina rumah tangga diawal pernikahan, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
ekonomi, kesalahan dalam mendidik anak, dan lain sebagainya. Kesulitan inilah
yang mendorong terjadinya ketidakseimbangan dalam keluarga yang akhirnya
menimbulkan masalah. Dalam hal ini Munchin menjelaskan penyebab masalah
keluarga dalam “Triad yang kaku”, antara lain:
1.
Detouring atau saling melimpahkan kesalahan;
2.
Anak dan orangtua berkoalisi untuk melawan orangtua yang
lain;
3.
Anak berkoalisi dengan anggota keluarga yang mengalami
konflik secara tertutup terhadap anggota keluarga yang lain.
Selain hal tersebut,
penyebab munculnya perilaku bermasalah pada anak menurut Jackson dapat
disebabkan oleh konflik yang tidak terselesaikan dalam keluarga dimasa lalu.
Misalnya, seorang anak (klien) yang memiliki kecenderungan berperilaku kasar di
sekolah seperti memaki, berkelahi dan melanggar peraturan sekolah, dikarenakan
sikap kedua orangtuanya yang sering bertengkar dan beradu fisik dihadapan anak
sewaktu ia masih kecil.
Adapun masalah yang sering
kali terjadi dalam keluarga, antara lain:[1]
a.
Ketidakmampuan berinteraksi antar-anggota keluarga
dalam menangani masalah
Ketidakmampuan berinteraksi secara utuh dalam keluarga dapat
disebabkan karena:
1. Ketidakmampuan mengomunikasikan perasaan kepada anggota
keluarga secara efektif. Beberapa sistem yang diterapkan dalam keluarga adalah
terlalu fanatik terhadap paham keagamaannya sehingga menganggap tabu untuk
membicarakan tentang seks, uang, perasaan negatif. Ada pula sistem menyampaikan
pesan ganda, artinya ketidakselarasan antara perkataan dan perbuatan.
2. Hubungan antar-anggota keluarga yang tidak akrab satu sama
lain. Masing-masing anggota keluarga memiliki kesibukan diluar rumah sehingga
jarang meluangkan waktu bersama. Mereka tidak punya waktu untuk makan siang
bersama, shalat berjamaah di rumah dimana ayah menjadi imam dan anggota
keluarga menjadi jamaah. Ini merupakan moment yang tepat, banyak hal yang bisa
ditanyakan ayah atau ibu kepada anak-anak. Seperti pelajaran sekolah, teman,
kesedihan, kesenangan yang dialami anak.[2] Jadi disini antar-anggota
keluarga bisa saling berbagi, ada kehangatan dan hubungan yang akrab dalam
keluarga.
3.
Adanya aturan dalam keluarga yang terlalu kaku atau sama
sekali tidak memiliki aturan. Pada keluarga yang telau kaku, anggota keluarga
sulit bertindak fleksibel dan cenderung mengabaikan sumber pertolongan diluar
keluarga. Anak akan mengalami kesulitan mengikuti aturan apabila bertentangan
dengan sikap dan nilai pribadinya. Sementara pada keluarga yang tidak memiliki
aturan, anggota keluarga dibebaskan untuk melakukan apapun yang mereka inginkan
sehingga membingungkan anak untuk memilih tingkah laku yang layak untuk
dilakukan.
4. Keengganan mengungkapkan rahasia pribadi dengan anggota keluarga.
Rahasia ini biasanya bersifat menyakitkan dan memalukan. Sikap enggan
mengungkapkan rahasia ini akan menimbulkan sikap berjaga-jaga pada anggota
keluarga yang menyimpan rahasia, dan kecurigaan pada anggota keluarga.
5. Ketidakmampuan menyesuaikan tujuan antara anak dan orangtua. Anak akan mengalami
pertentangan antara harap dan kenyataan yang akhirnya menimbulkan konflik pada
dirinya.
6. Terjadinya pertentangan nilai/ cara berpikir antara anak dan
orangtua. Adakalanya orangtua menolak tejadinya perubahan dalam sistem keluarga
yang sifatnya turun temurun.
b.
Kurangnya komitmen dalam keluarga
Keluarga yang tidak memiliki komitmen akan mengalami
kesulitan untuk membangun kebersamaan dan menangani masalah yang muncul.
Orangtua hanya memikirkan urusannya sendiri tanpa memperdulikan maslaah anak,
begitupun sebaliknya. Bahkan pada saat menjalani proses konseling,
ketidaksediaan untuk meluangkan waktu sehinga menyulitkan konselor untuk
menangani permasalahan klien.
c.
Ketidakmampuan menjalankan peran dalam keluarga
Baik orangtua maupun anak sebenarnya telah menetapkan
perannya masimg-masing dalam keluarga. Dalam peran aktivitas misalnya, kakak
membersihkan rumah, ayah membuka pintu garasi mobil. Berdasarkan gender,
mengharuskan ibu merawat anak dan suami. Namun, terkadang anggota keluarga
mengabaikan peran tersebut.
d.
Kurangnya kestabilan lingkungan
Seperti, karena desakan ekonomi, pasangan suami istri harus
hidup bersama mertua dalam jangka waktu yang lama. Sikap mertua yang selalu
mencampuri urusan pasangan suami istri tersebut akhirnya menimbulkan konflik
dalam keluarga.
e.
Masalah pendidikan
Jika pendidikan agak lumayan pada suami-istri, maka wawasan
tenatang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya, pada
suami-istri yang yang pendidikannya rendah seering tidak dapat memahami
liku-liku keluarga. Jika pendidikan agama ada atau lumayan, mungkin kelemahan
dibidang pendidikan bisa diatasi. Suami-istri akan dapat mengekang nafsu
masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari. Islam, mengajarkan agar orang
bersabar dan shalat didalam menghadapi gejolak hidup rumah tangga.[3]
f.
Masalah perselingkuhan
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perselingkuhan. Pertama,
hubungan suami-istri yang sudah hilang kemesraan dan cinta kasih. Seperti
istri kurang berdandan di rumah kecuali jika pergi ke undangan atau pesta,
cemburu baik secara pribadi maupun atas hasutan pihak ketiga; kedua, tekanan
pihak ketiga seperti mertua dan anggota keluarga lain dalam hal ekonomi; ketiga,
adanya kesibukan masing-masing sehingga kehidupan kantor lebih nyaman
daripada kehidupa keluarga.[4]
g.
Jauh dari Agama
Segala keburukan perilaku keburukan manusia disebabkan karena
jauh dari agama yaitu dienul Islam. Sebab Islam mengajarkan agar manusia
berbuat baik dan mencegah orang berbuat mungkar dan keji.jika keluarga jauh
dari agama dan mengutamakan materi. Tunggulah kehancuran keluarga tersebut.
Karena dari keluarga tersebut akan lahir anak yang tidak taat pada Allah dan
kedua orangtuanya.[5]
B.
Perasaan Tertekan pada Kaum Ibu
Dengan dimulainya berumah tangga, biasanya macam-macam persoalan mulai
timbul. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah bebas dari persoalan.
Mengatasi dan menyelesaikan masalah justru merupakan tantangan bagi manusia.
Cara-cara mengatasi persoalan itulah yang menentukan keberhasilannya. Cara
seseorang mengatasi kesulitan menentukan corak hidupnya. Berhasil dan gagalnya
seseorang selalu menentukan arah jalan hidup selanjutnya. Demikian juga
perasaan-perasaan kesal yang dialami kaum perempuan dan kaum ibu pada umumnya
dalam rumah tangga pun dapat mengarahkan hidupnya. Apakah cara dan isi hidupnya
membahagiakan atau merisaukan, banyak dipengaruhi oleh cara-cara mengatasi
kekesalan didalam rumah tangga.
a.
Perasaan kesal
Perasaan kesal merupakan suatu perasaan yang menekan dirinya dan
mengakibatkan penderitaan jiwa. Perasaan kesal yang menumpuk akhirnya begitu
meluas pada segi emosionalitas dan disebut tekanan jiwa – tekanan batin. Tidak
tercapainya sesuatu menimbulkan rasa
kesal.
Bentuk penyaluran rasa kesal/tekanan batin yang sering terlihat pada kaum
ibu dan perempuan addalah depresi. Depresi merupakan gangguan emosionalitas
yang ditandai oleh adanya perasaan sedih, putus asa, dan putus harapan yang
tidak sesuai dengan lingkungan serta kehilangan minat terhadap lingkungan.
Depersi meliputi beberapa tahapan, yaitu suasana hati tertekan, deperesi
ringan, depresi berat, dan depresi yang disertai kecenderungan bunuh diri.
b.
Penyebab perasaan
sedih/perasaan tertekan
1. Sebab-sebab
depresi yang terletak pada segi kebutuhan/fisiologis perempuan
-
Sejak umur belasan tahun sampai suatu umur tertentu,
perempuan mengalami siklus haid setiap bulan. Siklus haid diatur oleh
hormon-hormon yang penyalurannya diatur oleh pusat-pusat tertentu didalam otak.
Dalam masa ini, perempuan akan merasa perasaan-perasaan yang tidak menentu
dikarenakan adanya kesia-siaan persiapan tubuh. Keadaan “kecewanya tubuh”
terlihat dari mudahnya perempuan merasa tersinggung, marah, dan kurang sabar
dalam menghadapi masalah sehari-hari. Kekesalan ini yang sering tidak diketahui
pangkal sebabnya, mengakibatkan timbul rasa putus asa dan sulit menahan air
mata. Namun, walau setiap perempuan mengalami siklus haid, tidak setiap
perempuan mengalam depresi ini dalam derajat yang sama.
-
Seorang yang ibu yang baru hamil akan mengalami
gangguan keseimbangan tubuh, karena tubuhnya harus memelihara dan mengembangkan
janin yang baru. Biasanya, jelas terlihat dari tuntutan “calon ibu” yang luar
biasa, dikenal sebagai “ngidam”.
-
Menjelang mendekati akhir “masa subur”, tubuh
perempuan mengalami perubahan total yang menyebabkan keguncangan emosionalitas.
Pengetahuan akan penurunan “kualitas” tubuh sebagai penerus keturunan
seolah-olah mempengaruhi “harga dirinya” secara keseluruhan disertai dengan
perasaan tidak berguna lagi. Begitu juga dengan perempuan yang tidak menikah.
-
Kelelahan juga dapat mempengaruhi ketahanan psikis,
sehingga mudah terkena penyakit. Kemudian timbul perasaan putus asa dalam
meghadapi dan mengatasi persoalan sehari-hari yang akhirnya menumpuk dan menjadi
tekanan batin.
2. Rumah
tangga dan masalahnya
-
Setiap hari kaum perempuan, khususnya kaum ibu,
seolah-olah harus menghadapi dan menjalani suatu rangkaian tugas yang harus
diselesaikan demi terjaminnya kelangsungan hidup. Penyelesaian tugas yang tidak
memberikan hasil yang nyata, sering memberikan perasaan diri tidak berguna dan
tekanan batin bagi kaum perempuan.
-
Perasaan putus asa dapat timbul dalam menghadapi suatu
rangkaian masalah yang tidak terpecahkan sehingga menghilangkan semangat juang
hidup. Sebaliknya, rumah tangga yang teratur, bebas dari permasalahan berat pun
mengalami titik kejenuhan yang juga mungkin timbul depresi pada kaum perempuan.
3. Hubungan
suami istri
-
Antara laki-laki dan perempuan memiliki sifat-sifat
dasar yang berbeda. Tanpa pengetahuan, depresi mungkin akan timbul pada setiap
titik pertemuan. Setiap titik pertemuan akan jadi persimpangan dimana cara
berpikir, titik tolak pemikiran, maupun tindakan tidak akan mencapai
kesesuaian. Ketidaksesuaian ini dengan status perempuan sebagai “pengabdi” akan
menimbulkan berbagai derajat kekesalan.
-
Perbedaan pertentangan dan kekecewaan, baik dari segi
materi, mental, maupun seksual, telah membentuk dinding pemisah antara suami
istri. Penderitaan batin akan lebih dirasakan oleh kaum istri karena mereka
merupakan penampung emosi dari suami. Perasaan putus asa karena harus
menyelesaikan semua permasalahan tanpa penyaluran dan penampunagn afeksi, dapat
mencapai titik gelap. Keadaan ini sering mendorongnya untuk menghabiskan
penderitaanya dengan nekad.
c.
Mencegah dan mengatasi
depresi
1. Menghindari
rangsangan-rangsangan dapat menimbulkan kemarahan maupun luapan emosi lainnya;
2. Depresi
semasa hamil, dicegah dengan membaca cerita yang bagus, berjalan-jalan menghirup
hawa segar;
3. Mencegah
kelelahan tubuh supaya tidak melampaui batas daya tubuh;
4. Pertemuan
antar kaum perempuan, kaum ibumaupun pertemuan informal akan bermanfaat;
5. Pekerjaan
selingan atau tambahan;
6. Penciptaan
hubungan suami istri yang serasi.[6]
C.
Frustasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Frustrasi, dari bahasa
Latin “frustratio”, adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat
terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar
frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus kepada stress. Frustrasi
dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang
yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri
sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial
yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal
dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling
berinterferensi satu sama lain. Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup
kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau
tidak kunjung mendapatkan jodoh.
Frustasi adalah suatu
keadaan dalam diri Individu yang disebabkan oleh tidak tercapainya kepuasan
atau suatu tujuan akibat adanya halangan/rintangan dalam usaha mencapai
kepuasan atau tujuan tersebut. Frustasi adalah sebagai keadaan dimana seseorang
sedang kalut, terlalu banyaknya masalah, tekanan ataupun lainnya, sehingga
tidak dapat menyelesaikannya. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan yang
dialami seseorang, ketika keinginannya tidak dapat tercapai atau
terganjal untuk dapat terealisasikan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak
sekali hal yang menyebabkan terhalangnya orang dalam mencapai yang diinginkannya
itu. Orang yang sehat mentalnya akan dapat menunda buat sementara kebutuhannya
itu atau ia dapat menerima frustasi itu sambil menunggu adanya kesempatan
yang memungkinkan adanya.[7]
Dalam kehidupan
sehari-hari sering kita dapati keadaan frustasi tersebut. Mengeluhkan keadaan
ekonomi, seperti usaha macet, pasaran sepi, sulit mendapatkan pekerjaan,
kecelakaan, divonis penyakit, bencana alam, kematian orang disayangi,
persaingan yang berlebihan, dan lain-lain. Pada mulanya, kita menganggap itu
perasaan yang sepintas saja, namun perlu diketahui frustasi dapat mengakibatkan
hal yang fatal. Berikut cara yang dapat dilakukan agar kita tidak melihat
sesuatu pada satu sisi saja:
1. Sikap optimis. Katakan
pada diri sendiri bahwa kita mempunyai kebebasan untuk memandang setiap situasi
negatif . bila kita katakan pada diri sendiri “Jangan cemas!” Maka hati kita
akan lebih tenang.
2. Manusia adalah makhluk
yang mempunyai akal budi. Artinya kita bisa belajar, dapat menyusun rencana dan
menentukan tujuan.
3.
Bersikap tenang dan
rileks, sambil menyusun strategi.
4. Belajar bereaksi secara
positif, karena pemikiran positif memnghasilkan sesuatu yang positif pula.
Ibrahim Elfiky mengatakan “Berpikir positif adalah sumber kekuatan dan
sumber kebebasan. Disebut sumber kekuatan karena ia membantu Anda memikirkan
solusi sampai mendapatkannnya. Dengan begitu Anda bertambah mahir, percaya dan
kuat. Disebut sumber kebebasan karena dengannya Anda akan terbebas dari
penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik.”[8]
5. Kita tidak dapat
mencegah tarjadinya perubahan, bila suatu saat kita kehilangan sesuatu, kita
harus tetap bersyukur dan optimis.
6. Mulai dengan tindakan
kecil tetapi pemikiran besar. Ambil langkah-langkah kecil dan maju sambil terus
memperhatikan tujuan akhir yang ingin dicapai.
7. Percaya bahwa hidup ini
penuh kemungkinan. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya dan bekerjalah lebih keras dibanding
sebelumnya.
Sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak sepenuhnya bergantung pada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Tetapi lebih bergantung pada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketidakmampuan orangtua
menyikapi permasalahan dalam keluarga berperan besar dalam menyebabkan
munculnya masalah dalam diri anak (klien). Orangtua menyadari bahwa anaknya
harus mendapatkan penanganan dari konselor agar dapat mengubah perilakunya
disaat anak sudah memunculkan perilaku negatifnya dihadapan orangtua dan
lingkungan sekitarnya. Dengan perilaku seperti ini, orangtua mengalami stress,
frustasi, merasa tambah menderita.
B. Saran
Dari penulisan makalah
ini, diharapkan kita dapat mencapai keharmonisan dalam diri sendiri dan
keluarga, mampu mengelola segala maacaam keadaan frustasi. Bagi calon konselor
supaya dapat memahami materi ini untuk bahan ajar dan berguna bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Yusak. Kesehatan Mental. Bandung: Pustaka Setia.
1999.
Daradjat,
Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta. Gunung Agung. 1968.
Elfiky,
Ibrahim. Terapi Berpikir Positif. Jakarta: Zaman. 2013.
Lubis, Namora Lumongga. Memahami Dasar-Dasar
Konseling. jakarta: Kencana. 2011.
Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja
dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia. 2008.
Willis, Sofyan S. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta. 2013.
Willis, Sofyan S. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta. 2013.
[1] Namora Lumongga Lubis. Memahami Dasar-Dasar Konseling. Jakarta:
Kencana: 2011. Hal. 224-227.
[2] Sofyan S. Willis. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta. 2013.
Hal. 14.
[3] Ibid., Hal 18.
[5] Ibid., Hal 19.
[6]
Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa. Psikologi untuk Keluarga.
Jakarta: Libri. 2012. Hal. 98-106.
[8] Ibrahim Elfiky. Terapi Berpikir Positif. Jakarta: Zaman. 2013.
Hal. 207.
[9] Yusak Burhanuddin. Kesehatan Mental. Bandung: Pustaka Setia.
Hal 18.